Senin, 09 April 2012

Andrea Winata

Andre,

Siang ini aku sedang berada di cafe depan hotel La Pergola, Roma, dengan senja yang membingkai lansekap kota. Di tempat itulah dulu aku mulai menebak-nebak seperti apa wajahmu. Memang, sebentuk wajahmu telah terekam kuat di dalam benakku jauh sebelum aku terbang ke Roma. Menghabiskan berjam-jam di angkasa untuk sampai di sebuah kota paling cantik setelah London. Kita memang harus bertemu, Ndre. Kamu yang akan menjadi pemanduku, saat itu.

“Namanya Andre Winata.” Itu kata Pak Rahadian, Big Boss yang menyuruhku untuk mewakili meeting tahunan di Roma. “Dia orang Indonesia yang dapat assignment mengerjakan proyek di Roma. Nanti kamu sama dia aja, Ren.”

Dan kita pun mulai berkomunikasi lewat chat skype. Aku penasaran seperti apa rupa lelaki yang bakal jadi teman baikku selama kunjungan seminggu di Roma itu. Dari chat, lantas kita mulai mengaktifkan webcam. Saat itu aku terpesona dengan kedua biji mata cokelatmu, hidungmu yang tinggi, alis matamu yang tebal, dan rahangmu yang kuat persegi. Awalnya, semua kulakukan karena aku butuh mengenalmu, Andre Winata yang ditugasi khusus untuk mengawalku di sana. Tapi kemudian, semua berubah menjadi candu. Aku harus berbicara denganmu, memandang wajahmu.

Lalu tujuh minggu berlalu, terdamparlah aku di cafe ini. Persis setahun yang lalu. Menunggumu tiba dengan skuter cokelatmu yang kamu namai ‘cappuccino’ itu. Dengan cangkir kopi di genggaman tanganku dan perasaan campur aduk di dalam dadaku.

Kamu, Andre Winata, entah kenapa saat itu seolah mengajakku menembus sebuah pintu. Masa lalu. Tempat hatiku pernah merasa sangat bahagia.

Andre,

Kamu sama persis seperti sosok yang kubayangkan saat kita bercakap-cakap di depan webcam. Cara tertawamu, suara beratmu, kerlingan genitmu. Dari berbincang di depan layar monitor, kini aku bisa berebut oksigen denganmu. Sungguh, mimpi apa aku bisa terbang ke Roma lalu menemukanmu?

Dan entah aku harus berterimakasih pada siapa karena meeting tahunan itu digelar di bulan Oktober. Karena kamu, Roma, dan Oktober, serupa kombinasi paling hebat untuk memabukkanku. Berkendara di atas skuter, di bawah langit Roma yang cerah dan suhunya yang hangat lembab, kita menyusuri gang-gang kecil Roma. Menyeberang bridge of Angels, menikmati indahnya colosseum, dan mengunyah pizza asli Italia yang dibakar di dalam tungku. Ah, kamu memang selalu punya cara untuk mengajakku bersenang-senang sekalipun tujuanku ke Roma bukan untuk itu.

“Kamu harus ke Trevi fountain, Ren,” katamu saat itu. “Biasanya cewek-cewek suka hal-hal yang superstitious begitu.”

Dan kita kemudian beranjak ke Trevi fountain, persis di malam terakhirku sebelum esoknya kembali terbang ke Indonesia. Kamu menyuruhku melempar sebuah koin ke dalam air mancur yang terkenal bisa mengabulkan permintaan itu. Berdesakan dengan banyak pengunjung, aku berdiri di tepi fountain. Membisik perlahan di atas kepingan uang itu, sebelum kulempar dengan sepenuh hati.

Ada harapan yang kubisikkan di situ. Harapan yang terbang melayang ke udara sejenak, lalu tenggelam di dalamnya. Jauh di dasar fountain dan menanti takdirnya.

Dan kamu tahu apa harapanku?
Sederhana, Ndre. Sederhana saja.
Besok pagi, sebelum pesawatku membumbung tinggi, aku berharap kamu mengantarku sampai bandara, kita menghabiskan pagi untuk sarapan pancake dan secangkir coklat hangat, lalu di ujung perpisahan itu, like a chick flick movie, kamu memelukku dan mencium bibirku.

It was such a great simple wish, wasn’t it?
Yes, it really was a simple WISH.
Sekadar harapan, Ndre.

Bukan kenyataan. Karena nyatanya, meski aku menunggumu di bandara sampai menit-menit terakhir, kamu tak juga datang. Segala harapan kalau kamu bakal datang mengejutkanku di bandara tepat di panggilan terakhir pesawat yang akan membawaku meninggalkanmu, rupanya hanya sekadar harapan.

Kita berpisah tanpa sempat berucap kata pisah, Ndre.
Apalagi kecupan kecil di kening, atau pipi.
Oktober, setahun yang lalu, kita berpisah.

Kutinggalkan sebentuk cinta di Roma untukmu. Cinta yang tidak seharusnya.. Cinta yang datang tetiba, lalu membuatku nelangsa

Lala Purwono.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;